Manokwari, Papua Barat – Kampung Saubeba di Distrik Manokwari Utara Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat, merupakan lokasi program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas III) tahun 2019.  Warga Kampung Saubeba masih sangat sulit untuk mendapatkan akses air minum untuk kebutuhan sehari-hari.  Sulitnya mendapatkan akses air minum berimplikasi pada rendahnya kesadaran masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).

Kampung Saubeba dihuni 91 Kepala Keluarga (KK) atau 354 jiwa.  Kampung Saubeba dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat dan roda dua maupun angkutan umum dengan waktu tempuh sekitar satu jam dari ibukota kabupaten.

Proses pembangunan system penyediaan air minum dan sanitasi (SPAMS) melalui program Pamsimas di Kampung Saubeba diawali dengan kegiatan sosialisasi dan dilanjutkan dengan pelaksanaan tahapan kegiatan, mulai dari IMAS (Identifikasi Masalah dan Analisa Situasi), penyusunan RPJM Kampung, pleno kampung, pengumpulan kontribusi masyarakat sampai dengan penyelesaian Rencana Kerja Masyarakat (RKM) yang memuat segala informasi yang terkait dengan masalah-masalah air minum dan sanitasi serta solusinya.  Pelaksanaan kegiatan di kampung dikoordinasikan oleh Kelompok Keswadayaan Masyarakat (KKM) dan Satlak (Satuian Pelaksana) yang beranggotakan berbagai elemen masyarakat dan difasilitasi Tim Fasilitator Masyarakat (TFM) sebagai pendamping masyarakat.

Masyarakat antusias dan menaggapi secara positip  masuknya program Pamsimas sebagai bentuk jawaban atas kegelisahan warga masyarakat Saubeba, harapan serta keinginan selama ini untuk mendapatkan kemudahan akses pelayanan air minum untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.

Masyarakat Saubeba adalah merupakan masyarakat hukum adat (MHA), yang memiliki tatanan sebagai satu kesatuan untuk sanggup berdiri sendiri, mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya.  Ciri-ciri masyarakat hukum adat adalah mempunyai kesatuan manusia yang teratur, menetap disuatu daerah tertentu atau memiliki kesatuan wilyah, mempunyai penguasa atau kesatuan penguasa.

Berdasarkan peraturan Menteri Negara Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 05 Tahun 1999; masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama dalam suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar satu garis keturunan.

Masyarakat hukum adat Saubeba terlibat sangat antusias dalam setiap tahapan pelaksanaan kegiatan Pamsimas.  Pembangunan SPAMS dikerjakan bersama-sama dengan melibatkan kelompok laki-laki dan perempuan sehingga telah memenuhi syarat dan ketentuan dalam pedoman pelaksanaan program Pamsimas.

Proses pembangunan SPAMS di lokasi masyarakat hukum adat memiliki kesan tersendiri bagi seorang Fasilitator yang menjadi pendamping masyarakat.  Kepatuhan terhadap hukum adat harus tetap dijunjung tinggi agar tidak ada benturan dengan masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan di lapangan.  Keberadaan hukum adat tidak bisa dipisahkan dan menjadi satu kesatuan dengan warga masyarakat hukum adat.  Pengalaman berikut sering dijumpai Fasilitator di lokasi dampingan yang merupakan masyarakat hukum adat yang harus disikapinya dengan bijak agar tidak terjadi benturan dengan masyarakat.

Sebagai contoh, sebelum pembangunan SPAMS dimulai, terlebih dulu dilakukan ritual upacara adat.  Masyarakat hukum adat atau tetua adat menyiapkan seekor babi atau seekor ayam untuk disembelih sebagai bukti pertanggungjawaban secara spiritualitas kehendak bersama di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa; sebuah kepercayaan dan keyakinan yang  sakral.  Inilah nilai-nilai luhur yang tidak bisa  lepas dari kesakralan masyarakat hukum adat.

Terkadang fasilitator menjumpai komplain masyarakat terhadap  hak ulayat atas tanah yang akan digunakan untuk lokasi pembangunan fasilitas SPAMS.  Mereka menganggap tanah tersebut sah milik mereka yang dimiliki secara turun temurun.  Tanah adat tersebut tidak bisa dilepas begitu saja kepada siapapun atau atas nama apapun, termasuk untuk pembangunan yang manfaatnya bagi masyarakat.  Hal yang demikian kadang menjadi kendala dalam proses pembangunan Pamsimas di wilayah masyarakat hukum adat.

Untuk menyelesaikan permasalahan ini dilakukan dengan melibatkan semua unsur yang terkait guna meluruskan setiap permasalahan.  Proses yang ditempuh dengan melakukan rapat koordinasi melibatkan aparat desa, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh adat setempat, untuk merumuskan solusinya.

Sebenarnya fasilitator telah menyiapkan lampirkan  berita acara pembebasan lahan sebagai bentuk dari aturan yang mengikat bersama.  Tetapi itulah yang terjadi di lapangan, masyarakat hukum adat sangat terikat dengan keadaan yang sifatnya kepercayaan.

Saat ada kematian anggota masyarakat, maka seluruh aktifitas atau kegiatan Pamsimas dihentikan untuk sementara, biasanya  sampai tujuh hari masa   berkabung bahkan lebih.  Hal ini dapat menghambat proses penyelesaian pekerjaan di lapangan.

Keadaan tersebut di atas sering  ditemukan di lapangan dan dihadapi para Fasilitator di lokasi dampingan masyarakat hukum adat.  “Kami sadar apa yang kami lakukan meskipun sangat beresiko,  bahkan terkadang kita sering cek-cok dan berhadapan langsung dengan warga masyarakat yang sering khilaf atau miss komunikasi dengan kami. Kami selalu percaya dan yakin bahwa apa yang kami lakukan bagian dari perjuangan dan ibadah atas nama kemanusiaan,” ucap Ismail Sangadji, Fasilitator Pemberdayaan Pamsimas Kab. Manokwari.

Pada akhirnya masyarakat hukum adat sadar dengan sendirinya bahwa air merupakan sumber kehidupan yang sangat dibutuhkan semua orang.dan sangat bermanfaat bagi semua orang. (Ismail Sangadji-Fasilitator Pemberdayaan Kab. Manokwari/ Hartono Karyatin-Media Sp PAMSIMAS).